Senin, 11 Januari 2010

PENGANTAR BUDIDAYA JAMUR SHIITAKE (LENTINULA EDODES) & JAMUR KUPING (AURICULARIA POLYTRICHA)

PENGANTAR BUDIDAYA
JAMUR SHIITAKE (LENTINULA EDODES) &
JAMUR KUPING (AURICULARIA POLYTRICHA)
Oleh:
I Nyoman Aryantha
Program Pelatihan P3T
CSED - DEPNAKER JABAR
Bandung, 26 Februari 1999
PPAU ILMU HAYATI-LP-ITB
Jalan Ganesha 10 Bandung 40132
Tlp/Fax : 022 2509165
email : iucls@iucls.itb.ac.id


Lentinula edodes.jpg


I. BUDIDAYA JAMUR SHIITAKE (L. EDODES)

Shiitake yang disebut juga ‘Chinese Black Mushroom’ sudah dikenal sebagai jamur
konsumsi sejak 2000 tahun yang silam di dataran Asia (Cook, 1989).

Produksi jamur

Shiitake secara industri massal pertama kali dilakukan di Jepang pada tahun 1940an.
Namun budidaya secara traditional sudah dimulai sejak 900 tahunan yang silam di Cina.
Shiitake adalah jamur yang diproduksi paling besar kedua setelah jamur Champignon
dimana Jepang adalah negara produsen terbesar di dunia (Chang dan Miles, 1989).

1.1 Karakteristik biologis

Shiitake diambil dari kata Shii (pohon Shii) dan take (jamur) yakni tempat ditemukannya
jamur ini pertama kali. Di Cina jamur ini disebut Shiang-Gu yang berarti jamur beraroma
(fragrant mushroom). Jamur ini termasuk dalam kelas Basidiomycetes yaitu jamur yang
menghasilkan spora pada basidium. Nama ilmiah yang kini dipakai di kalangan ilmuwan
taksonomi adalah Lentinula edodes. Sebelumnya jamur ini disebut juga Lentinus edodes
Cortinellus shiitake, Cortinellus edodes, Cortinellus berkeleyanus, dan Armillaria edodes
(Leatham dan Leonard, 1989).

Deskripsi jamur Shiitake adalah sebagai berikut : berbentuk payung dengan batang
sentral (3 - 5 cm) yang kadang masih tampak sisa cadar parsial (partial veil); tudung (5 -
12 cm) agak mendatar berwarna krem kecoklatan, yang kalau kering akan pecah-pecah
membentuk sisik-sisik dengan bentuk dan ukuran bervariasi; insang berwarna putih
menempel pada batang dan spora berwarna putih.

Penyebaran jamur Shiitake secara alami adalah mulai dari dataran Cina, Jepang, Taiwan,
Malaysia, Indonesia, sampai ke Papua Newgini (Chang dan Hayes, 1978). Jamur ini
tumbuh secara alami pada pohon-pohon berdaun lebar yang sudah mati (kelas Fagaceae)
seperti Oak, Shii, Beech, dan Chestnut (San Antonio, 1981). Dengan sistem kultivasi log
serbuk gergajian kayu, jamur ini dapat tumbuh juga pada kayu Albasia, Jati, Mahoni,
Pasang, Saninten, dan Kapur (Campbell, 1989).

1.2 Kebutuhan nutrien

Substrat pertumbuhan jamur ini sebagaimana halnya jamur kayu yang lain adalah bahan
yang mengandung lignin dan selulosa yang umumnya terdapat pada tumbuhan yang
berkayu. Dalam aspek pembudidayaan modern penyediaan sumber nutrien dalam substrat
tanam adalah faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan jamur. Pada dasarnya
kebutuhan nutriennya seperti halnya dengan jamur lain terdiri dari sumber karbon,
nitrogen, vitamin dan mineral. Sumber karbon yang baik bagi Shiitake adalah senyawa
pektin, hemiselulosa dan pati. Sedangkan sumber nitrogen yang baik adalah dalam
bentuk asam amino, ammonia dan urea. Kadar nitrogen dalam substrat tanamnya
berkaitan dengan kadar senyawa protein yang dihasilkan tubuh buah. Kadar nitrogen
mesti dalam konsentrasi yang tepat karena kadar yang berlebih justru dapat meghambat
pertumbuhan demikian juga sebaliknya. Meskipun demikian pada saat pembentukan
tubuh buah kadar nitrogen yang minim (kekurangan) justru dapat memacu pembuahan
(Leatham dan Leonard, 1989). Kebutuhan akan vitamin terutama halnya dengan thiamin
(B-1) biasanya terpenuhi dengan penambahan biji-bijian atau dedak. Mineral umumnya
sudah terkandung dari air dan bahan dasar substrat meskipun demikian penambahan
mineral seperti kalium dan magnesium bisa dilakukan dengan pemberian senyawa kimia
seperti KNO3 dan MgSO4.

1.3 Persyaratan fisik

Sebagaimana halnya jamur lain faktor kelembaban tinggi adalah syarat utama yang harus
terpenuhi dalam budidaya jamur Shiitake. Kadar air substrat untuk pertumbuhan
vegetatip tergantung dari jenis substrat yang dipakai. Untuk substrat kayu utuh, kadar air
optimum adalah 45-60% sedangkan dengan substrat serbuk gergajian adalah 60-75%.
Meskipun demikian faktor fisik lain seperti suhu, oksigen cahaya dan gaya tarik bumi
juga merupakan faktor-faktor penting. Pertumbuhan vegetatif opotimum adalah pada
suhu 20-22oC. Sedangkan pada saat pertumbuhan tubuh buah memerlukan suhu optimum
yang bervariasi tergantung strainnya. Untuk strain dingin dapat menghasilkan tubuh buah
dengan baik pada suhu 12-18oC dan strain tropis pada suhu 20-22oC.
Sebagaimana halnya jamur lain, proses aerasi adalah hal yang juga vital. Shiitake seperti
halnya jamur pada umumnya membutuhkan kadar oksigen lebih tinggi pada saat
pembentukan tubuh buah dibandingkan dengan tahap pertumbuhan vegetatif miselium.
Itulah sebabnya log-log plastik yang telah terjadi pertumbuhan miselium vegetatif harus
dibuka pada saat yang tepat. Tentunya hal ini akan mempengaruhi penguapan air dari
dalam log yang tidak kita inginkan. Untuk menanggulanginya dilakukan penyiraman
dengan air kran.
Faktor fisik lain adalah cahaya. Kebanyakan jamur membutuhkan cahaya pada fase
pertumbuhan generatif atau akhir fase vegetatif. Cahaya terutama berperan dalam proses
perangsangan terbentuknya tubuh buah. Cahaya yang berperan dalam pembentukan
primordia ini adalah cahaya biru sampai mendekati ultraviolet. Cahaya pada rentang
lamda (λ) ini terdapat pada cahaya matahari. Cahaya buatan dengan lampu TL dengan
kekuatan 100-300 LUX juga sudah mencukupi. Sebagai patokan kasar, intensitas cahaya
yang dianggap cukup apabila dalam ruangan kita dapat membaca koran dengan jarak satu
lengan antara koran dan mata.
Faktor fisik yang terakhir adalah gaya tarik bumi (gravity). Pertumbuhan miselium
vegetatif umumnya lebih cepat di dalam log dengan posisi vertikal. Ini menandakan
adanya pengaruh gaya gravitasi terhadap pertumbuhan miselium.

1.4 Cara budidaya

Tahap-tahap pekerjaan pada dasarnya sama dengan cara budidaya jamur Tiram yang
mencakup : penyiapan substrat, pencampuran substrat, pengantongan (logging),
sterilisasi, inokulasi bibit, inkubasi, pemeliharaan tubuh buah, dan panen. Yang berbeda
adalah perlakuan faktor-faktor fisik pada saat pemeliharaan tubuh buah, serta formulasi
substrat tanam. Oleh karena itu, sebaiknya memahami dulu cara budidaya jamur Tiram
sebelum mencoba jamur Shiitake.

1.4.1 Penyiapan substrat

Beberapa contoh formulasi substrat tanam untuk jamur Shiitake adalah sbb:

Formula A Formula B

• Serbuk gergajian kayu = 5000 g * Serbuk gergajian kayu = 800 g

• Dedak = 150 g * Dedak = 200 g

• Tepung maizena = 100 g * Sukrosa = 30 g

• Gula merah = 60 g * KNO3 = 4 g

• Gypsum = 150 g * CaCO3 = 6 g

• Amonium sulfat = 2 g * Air = 2 Liter

• Kalsium super fosfat = 3 g

• Kadar air = 65%

Formula C

• Serbuk gergajian kayu = 45%

• Dedak = 10%

• Kulit kacang = 45%

• Air = 65%

1.4.2 Pencampuran substrat

Bahan-bahan penyusun substrat harus diaduk sehomogen mungkin untuk menjamim
pertumbuhan miselium yang merata ke seluruh bagian dari substrat. Pencampuran dengan
alat (mesin) akan lebih menjamin kemerataan pencampuran dibandingkan dengan cara
manual. Namun demikian cara manual dapat dilakukan dengan waktu pencampuran yang
lebih lama tentunya. Yang penting dalam pencampuran adalah tidak ada bahan yang
menggumpal terpusat pada suatu tempat. Bahan yang berupa butiran padatan berukuran
relatif besar seperti gula atau kapur harus dihaluskan terlebih dahulu untuk memudahkan
pencampuran. Cara yang baik untuk menjamin kemerataan penyebaran bahan yang
berupa butiran padat tadi adalah dengan cara melarutkannya terlebih dahulu ke dalam air
yang akan dipakai dalam campuran. Terutama bahan yang konsentrasinya rendah eperti
sukrosa dan amonium sulfat sebaiknya dilarutkan dulu dalam air.
Untuk mengurangi derajat kontaminasi oleh mikroba liar, proses fermentasi sering
dipraktekkan setelah pencampuran ini. Proses ini juga seperti dapat membantu
menguraikan beberapa senyawa kompleks menjadi lebih sederhana sehingga dapat
dimanfaatkan oleh jamur yang kita tanam. Proses ini dilakukan selama 3-5 hari
tergantung keadaan bahan baku substrat. Selama proses fermentasi (pengomposan) ini
harus dilakukan pengadukan untuk memberikan kesempatan yang merata pada setiap
bagian dari substrat. Pengadukan biasanya dilakukan tiap hari sekali terutama saat
dicapai suhu yang tinggi di dalam gundukan pengomposan.

1.4.3 Pengantongan (logging)

Pengantongan adalah proses selanjutnya yakni memasukkan substrat yang telah dicampur
merata ke dalam kantong plastik polypropylene yang tahan panas. Kantong diisi dengan
substrat secukupnya (tidak terlalu padat dan juga tidak terlalu longgar) sesuai dengan
ukuran log yang diinginkan. Batasan kepadatan log dapat dilakukan dengan jalan
memukul-mukulkan dengan sebuah botol yang diberi pemberat pasir. Memadatkan
dengan pukulan botol berisi pasir (tanpa tenaga tambahan) akan menghaislkan kepadatan
yang sesuai. Setelah kantong diisi dengan substrat secukupnya lalu diberi ring dan kapas
sebagai tempat memasukkan bibit nantinya.

1.4.4 Sterilisasi

Log yang sudah diberi ring dan tutup kapas ini kemudian disterilkan dengan alat autoklaf
atau dipasteurisasi dengan cara mengukus. Cara pertama adalah dengan pemanasan tinggi
(121oC selama tidak kurang ari 1 jam) sedangkan cara kedua adalah pemanasan dengan
suhu tidak lebih dari 100oC dalam waktu tidak kurang dari 5 jam tergantung banyaknya
log yang dipasteurisasi. Kadang pasteurisasi dilakukan secara berulang yakni
memberikan kesempatan bagi bentuk-bentuk resisten dari mikroba untuk berkecambah
menghasilkan bentuk vegetatif dengan demikian dapat dimatikan dengan mudah pada
proses pemanasan yang berikutnya. Tentu cara ini akan menghasbiskan biaya yang lebih
besar mengingat energi bahan bakar atau listrik yang dihabiskan akan lebih banyak.
Namun demikian, hasil yang didapat akan lebih baik karena proses berulang ini akan
lebih menjamin terbunuhnya mikroba-mikroba kontaminan.

1.4.5 Inokulasi bibit

Log-log steril yang sudah dingin sekarang siap diberi (diinokulasikan) bibit secara
aseptis. Penginokulasian dapat dilakukan dengan cara membuat lobang sebelumnya lalu
mengisi penuh lobang tersebut dengan bibit atau dapat pula dengan cara menyebarkan
bibit hanya pada permukaan saja. Untuk satu log substrat tanam cukup memerlukan bibit
sekitar 3-5 sendok the. Pada dasarnya, satu sendok the saja sebenarnya sudah cukup.
Namun, untuk lebih meyakinkan pertumbuhan miselium yang lebih cepat maka jumlah
bibit yang lebih dari itu akan lebih baik. Selama proses penginokulasian usahakan tidak
berbicara secara berlebihan karena uap air yang keluar dar mulut dapat saja
mengkontaminasi substrat yang hendak doberi bibit. Sesudah bibit diinokulasikan lalu
log ditutup kembali dengan kapas lalu log-log yang sudah berisi bibit diimpan di dalam
ruang inkubasi.

1.4.6 Inkubasi

Inkubasi maksudanya adalah proses pemeliharaan (penumbuhan) miselium dalam kondisi
pertumbuhan yang terbaik bagi jamur. Inkubasi biasanya dilakukan pada ruang yang
khusus dimana suhu ruang dapat dijaga konstan. Pada fase inkubasi miselium ini tidak
disarankan untuk melakukan pengaturan kelembaban dalam ruang inkubasi. Kelembaban
sudah terjamin dari kadar air substrat yang diberikan dalam proses pencampuran substrat
sebelumnya. Kelembaban ruang inkubasi tidak banyak membantu kelembaban di dalam
kantong plastik. Salah-salah, kelembaban ruang inkubai dapat menyebabkan spora liar
yang menempel pada kapas penutup dapat berkecambah kemudian miselium jamur liar
ini dapat merambah masuk ke dalam kantong. Oleh karena itu disarankan untuk tidak
membiarkan ruang inkubasi terlalu lembab.

1.4.7 Pemeliharaan tubuh buah

Selanjutnya setelah log ditumbuhi penuh dengan miselium maka log dapat dipindahkan
ke dalam ruang pemeliharaan tubuh buah. Perkembangan log akan melewati tahap-tahap
sebagai berikut :

�� Pembentukan lapisan miselium permukaan yang tebal

�� Pembentukan benjolan

�� Pembentukan warna coklat (pigmentasi)

�� Pengerasan lapisan luar

�� Pembentukan primordia

Log dipelihara sampai terbentuk lapisan miselium yang mengeras pada permukaan log.
Setelah itu akan muncul benjolan-benjolan dengan ukuran yang bervariasi yang tampak
menyembul ke permukaan log. Pada saat ini tutup kapas mulai diperlonggar untuk
membantu sirkulasi udara yang membantu pigmentasi. Kemudian akan diikuti dengan
pembentukan warna kecoklatan yakni suatu tanda pigmentasi. Setelah terbentuk pigmen
tutup kapas dibuka sepenuhnya. Lapisan miselium yang kecoklatan ini kemudian
mengeras seperti kulit batang dalam waktu sekitar 30 hari. Respon ini biasanya berkaitan
dengan upaya dari jamur untuk mengurangi penguapan air dari log. Kadar air di dalam
log akan tetap tinggi tetapi di luar relatif kering. Kulit inilah yang berperan sebagai
pelindung miselium di dalam log dari proses penguapan dan serangan jamur liar.
Pada saat ini, proses pembuahan sudah mulai dipersiapkan dengan memberikan
rangsangan fisik berupa suhu dingin dan kadar air yang berlimpah. Dapat dilakukan
dengan cara merendam log jamur dalam air selama beberapa jam sampai semalaman
dengan suhu sekitar 15°C. Setelah proses perangsangan selesai, log disimpan kembali
pada rak pemeliharaan. Pemeliharaan selanjutnya sangat ditentukan dari pengaturan
kadar oksigen dan kelembaban udara.
Pengaturan kadar oksigen dapat dilakukan dengan membuka jendela ventilasi pada saat
kelembaban udara di luar tinggi. Pengaturan kelembaban dapat dilakukan dengan cara
penyiraman dengan air secara berkala terutama kalau kelembaban udara di luar rendah
(biasanya siang hari). Kadar CO2 yang dibolehkan dalam ruang pemeliharaan adalah
berkisar dari 1200-1500 ppm (Wuest, 1989).
Kadar air log selama proses pembentukan tubuh buah harus dipertahankan antara 55-
65%. Di atas dan di bawah rentang ini akan mengganggu proses pembentukan primordia
(Donoghue & Przybylowicz, 1989). Untuk menjaga kadar air ini dapat dilakukan dengan
menjaga kelembaban udara di ruang pemeliharaan antara 80-90%. Setelah tubuh buah
mencapai ukuran dewasa, kelembaban udara diatur berkisar antara 65-85%. Hal ini
dilakukan untuk memperoleh tubuh buah dengan aroma dan tekstur yang lebih baik.
Kalau dalam periode ini kelembaban udara terlalu tinggi akan menghasilkan tubuh buah
dengan tekstur yang lembek relatif tidak dapat disimpan lama juga aroma yang kurang
baik. Dengan penurunan kelembaban akan menghasilkan tubuh buah yang pecah-pecah
dengan tekstur yang lebih keras dan dapat disimpan dalam waktu relatif lebih lama dan
aroma yang lebih baik. Tekstur seperti ini biasanya lebih disukai oleh konsumen terutama
konsumen luar negeri.

1.4.8 Pemanenan

Proses pembentukan tubuh buah bisa terjadi dalam waktu 5-6 bulan setelah inokulasi.
Proses ini dapat terjadi sebanyak 2-3 kali dengan periode istirahat berkisar sekitar 6
bulan.
Pemanenan dilakukan setelah tudung membuka sekitar 60-70%. Pada fase ini kondisi
tudung sudah menampakkan lemella pada bagian bawah tetapi pinggiran masih sedikit
menggulung. Kalau lewat dari itu jamur biasanya sudah terlalu tua dan sudah dihasilkan
spora dan kualitas jamur biasanya tidak baik (tekstur, waktu simpan dan aroma).
Sedangkan kalau dipanen sebelum itu tidak akan menghasilkan hasil panen yang
maksimum (produktivitas rendah) disamping kualitasnya juga tidak baik.
Disamping cara budidaya dengan sistim log serbuk gergajian, juga dikenal cara budidaya
dengan sistim log kayu utuh. Cara ini merupakan cara tradisional yang banyak dilakukan
di Jepang. Cara ini memiliki kelebihan karena dihasilkan tubuh buah dengan aroma dan
tekstur yang lebih khas. Namun kelemahannya adalah dari segi waktu yang lebih lama
(sampai 1,5 tahun) dan produktivitas yang relatif lebih rendah. Disamping itu luas area
yang dibutuhkan juga lebih luas untuk menghamparkan log-log kayu yang sudah
diinokulasi di lantai hutan sebagai area penginkubasian.

1.5 Pasca panen

Hasil panen jamur Shiitake dapat dikeringkan dengan sinar matahari atau alat pengering
buatan sebelum dipasarkan dalam bentuk kering. Jamur Shiitake yang kering dapat
bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang basah. Oleh karena itulah cara
pengeringan paling banyak dilakukan. Untuk menghindari supaya jamur yang sudah
kering tidak kembali menyerap uap air dari udara, maka pengemasan lebih baik
dilakukan dengan sistim fakum. Jamur yang sudah dikeringkan teksturnya dapat kembali
seperti tekstur awal setelah direndam dalam air hangat. Shiitake mengandung senyawa
aktif obat bermanfaat bagi kesehatan sehingga sering juga dimanfaatkan sebagai bahan
pengobatan tradisional. Untuk tujuan pasar lokal, jamur dalam bentuk segar juga sering
dipasarkan di pasar-pasar swalayan yang dikemas langsung dalam kemasan plastik.

II. BUDIDAYA JAMUR KUPING (A. POLYTRICHA)

Jamur Kuping adalah jamur yang pertama kali dibudidayakan bahkan sebelum jamur
Shiitake di Cina. Di Indonesia jamur Kuping sangat lumrah dikenal di kalangan
masyarakat menengah ke bawah setelah jamur merang. Pada acara-acara pesta hajatan
masakan sop (kimlo) sangat umum menggunakan jamur Kuping di dalamnya.
Masyarakat tradisional masih sering mengambil jamur ini dari alam yang biasanya
tumbuh pada batang-batang yang sudah lapuk. Kini jamur Kuping terutama jenis A.
polytricha sudah banyak dibudidayakan secara modern dalam log-log serbuk kayu.
Menurut data statistik, produksi segar jamur kuping (worldwide) menempati urutan
keempat (346.000 ton) setelah Champignon, Tiram dan Shiitake pada tahun 1991
(Chang, 1993).

Pada dasarnya cara budidaya jamur kuping hampir sama dengan cara budidaya jamur
Tiram dan Shiitake yakni dengan tahap-tahapan sbb : penyiapan substrat, pencampuran
substrat, pengantongan (logging), sterilisasi, inokulasi bibit, inkubasi, pemeliharaan
tubuh buah, dan panen. Yang berbeda mungkin komposisi substrat dan cara pemeliharaan
tubuh buahnya yang memerlukan kondisi-kondisi fisik yang sedikit berbeda
dibandingkan dengan jamur Tiram dan Shiitake, serta waktu panenan yang lebih singkat.
Untuk menghindari kemubasiran cerita mengenai keterangan tahap-tahap pembudidayaan
maka tidak akan disajikan lagi tahap-tahap secara detail seperti pada jamur Shiitake
sebelumnya. Dalam bagian ini hanya akan dibahas hal-hal yang berbeda yang perlu
diperhatikan dalam budidaya jamur Kuping secara spesifik.

Rangkuman tahap-tahap pembudidayaan secara umum adalah sbb :

±30oC

±30 hari

Penyiapan substrat

Pencampuran

substrat

Pengantongan
(logging)

Sterilisasi

Inokulasi bibit

Inkubasi miselium

±85%

24-27oC

±15 hari

3-4 kali (selang 14 h)

±400 g/log (total)

Komposisi substrat.

Berikut adalah dua contoh komposisi substrat tanam untuk jamur

Kuping yang sudah perna dicoba dan dilaporkan oleh beberapa peneliti.

Formula A

• Serbuk gergajian kayu = 78%

• Dedak = 20%

• Kapur (CaCO3) = 1%

• Sukrosa = 1%

• Air = 70%

Formula B

• Serbuk gergajian kayu = 78%

• Dedak = 10%

• Kapur (CaCO3) = 1%

• NPK (1:1:1) = 0,5%

• Air = 70%

Selanjutnya, hal yang sedikit berbeda dengan cara budidaya jamur Shiitake adalah pada
tahap inkubasi miselium yang memerlukan suhu relatif lebih tinggi (±30oC)
dibandingkan dengan Shiitake. Demikian juga waktu yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tubuh buah dari mulai inokulasi log adalah lebih singkat yakni sekitar 50
hari. Selama pemeliharaan tidak terjadi tahap-tahap yang sperti pada Shiitake (lapisan
tebal miselium permukaan, pembentukan benjolan, pembentukan warna coklat
(browning) dan pengerasan lapisan luar). Dalam hal pemeliharaan tubuh buah hampir
mirip dengan pemeliharaan jamur Tiram. Sepanjang kelembaban udara dipertahankan
tinggi (±85%) pada temperatur yang sesuai (24-27oC), kadar Oksigen yang cukup (tidak
terasa susah bernafas di dalam ruangan) dan kadar cahaya ±500 LUX, maka jamur
Kuping akan dihasilkan dan berkembang normal dengan sendirinya. Dengan kata lain,
budidaya jamur kuping lebih mudah dibandingkan dengan berbudidaya jamur Shitake.
Apabila tubuh buah sudah dihasilkan, maka waktu panen dapat dilakukan sampai dicapai
ukuran tubuh buah yang masksimum. Berbeda halnya dengan jamur Tiram, tubuh buah
jamur Kuping dapat bertahan relatif lebih lama pada log. Demikian juga pada saat
Pemeliharaan tubuh buah

Panen

Melakukan panen, primordia yang masih kecil sebaiknya jangan ikut dipanen habis
karena masih dapat berkembang lebih besar. Hal ini tidak boleh dilakukan pada jamur

Tiram.
Jamur Kuping akan kering dalam suhu kamar dengan catatan tidak dilakukan penyiraman
pada saat panen. Meskipun demikian, pengeringan dengan sinar matahari tentunya akan
lebih cepat. Setelah panen Jamur Kuping dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan
jamur Tiram dan Shiitake.

III. PUSTAKA
Campbell, A.C. dan R.W. Slee, Extensive system of Shiitake production in S.W.
England, dalam Shiitake Mushrooms, The proceedings of national symposium and
trade show, May 3-5 1989.
Chang, S.T dan W.A. Hayes, 1978, The Biology and Cultivation of Edible Mushrooms,
Academic Press., Inc., New York, London.
Chang, S.T, 1993, Mushroom biology : the impact on mushroom production and
mushroom products. In : S.T Chang et al., (eds) Mushroom biology and mushroom
products, The Chinese Univ. of Hong Kong.
Cook, R.C., 1989, History of Shiitake and other exotic mushrooms in The United States,
dalam Shiitake Mushrooms, The proceedings of national symposium and trade
show, May 3-5 1989.
Donoghue, J.D. dan P.R. Przybylowicz, 1989, Theh fruiting cycle of Shiitake and its
application to log management, dalam Shiitake Mushrooms, The proceedings of
national symposium and trade show, May 3-5 1989.
San Antonio, J.P., 1981, Cultivation of the Shiitake mushroom (Lentinus edodes (Berk.)
Sing., Hort. Sci., 16:151-156.
Leatham, G.F dan T.J Leonard, 1989, Biology and Physiology of Shiitake mushroom
cultivation, dalam Shiitake Mushrooms, The proceedings of national symposium
and trade show, May 3-5 1989.
Wuest, P.J., 1989, Shiitake growing in sawdust, dalam Shiitake Mushrooms, The
proceedings of national symposium and trade show, May 3-5 1989.