Minggu, 22 Mei 2011

Usaha Toko Kelontong Sederhana

Usaha toko kelontong kelihatannya sepele. Namun, bila dikelola dengan baik, hasilnya lebih dari lumayan.

Ditoko kelontong, semua barang yang menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari dan harganya terjangkau, bisa dijual.

Usaha ini bisa dilakukan di rumah dengan modal relatif kecil dan tidak membutuhkan keahlian khusus.

Perputaran barang atau Inventory Turn Over (ITO) untuk setiap barang tentu berbeda-beda. Ada barang yang sangat cepat laku seperti minyak goreng, ada juga yang lambat seperti materai.

Namun, kalau menggunakan rata-rata ITO, usaha ini biasanya dihitung selama 10 hari . Hal ini berarti omzet perhari sebesar 10 % dari persediaan barang. Jika persediaan barang sejumlah Rp 5 juta, maka omzet sekitar Rp 500.000,- perhari. Keuntungan kotor yang diambil sekitar 10% dari harga pokok. Jika omzetnya Rp 500.000/hari maka keuntungan kotor mencapai Rp50.000 sehingga dalam satu bulan akan diperoleh keuntunga sebesar Rp1,5 juta.

Modal yang dibutuhkan bagi usaha ini tidak besar. Untuk usaha awal dibutuhkan modal sekitar Rp 6,3 juta. Rinciaannya Rp5 juta untuk persediaan barang(modal kerja), Rp 1juta untuk etalase, sedangkan sisanya untuk sewa tempat dan biaya operasional lainnya.

Untuk mencoba usaha ini,sebaiknya dipilih lokasi yang padat penduduk dan tidak ada toko sejenis dalam radius 50 meter. Jika diasumsikan satu rumah rata-rata 50 meter persegi, maka akan ada calon konsumen sekitar 150 rumah. Seandainya bisa melayani 100 rumah dan setiap rumah membelanjakan sekitar Rp 5000 perhari berarti omzet yang terkumpul Rp 500.000 per hari. Ini memang hanya perhitungan kasar.

Frekuensi belanja (kulakan) sebaiknya 2 – 3 hari sekali. Dengan sistem ini barang yang terjual belum terlalu banyak dan uang yang terkumpul sudah cukup untuk memadai untuk dibelanjakan lagi. Jangan coba-coba menaikkan harga atau berbeda harga dari toko sejenis, karena hal ini akan menyebabkan konsumen lari.

Berikut Analisa keuntungan dari Usaha Kelontong sederhana :
Kebutuhan modal awal

A    Investasi :
Etalase Rp. 1.000.000 (Penyusutan selama 24 bulan = Rp 41.700/bl)
B.   Modal Kerja Rp. 5.000.000
C.   Biaya Operasional per bulan:
      Sewa tempat Rp. 150.000
      Tenaga kerja Rp . 75.000
      Transport Rp. 75.000
      Lain-lain Rp. 25.000 +
Total Biaya Operasional Rp. 325.000 

D. Total Modal Awal (A+B+C)= RP. 6.325.000 - 

       Analisa keuntungan.

    A. Pendapatan perbulan
        Omzet Rp. 500.000 x 30 hari = Rp. 15.000.000
   Keuntungan kotor 10 % x Rp. 15.000.000 = Rp 1.500.000
    B. Keuntungan bersih E – (C+A)
  Rp.1.500.000 – (Rp. 325.000 + Rp. 41.700) = RP 1. 133.300


sumber 

Jumat, 20 Mei 2011

Usaha Sup Buah







Contoh Perhitungan Usaha Sop Buah dan Aneka Jus
Modal Awal :
·         Etalase = Rp.  750.000
·         2 unit Blender @Rp. 300.000 = Rp.  600.000
·         Termos es = Rp.    25.000
·         Keranjang plastik = Rp.    30.000
·         2 kursi plastic @Rp. 30.000 = Rp.    60.000
·         Spanduk promosi sederhana = Rp.    50.000
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>Rp. 1.515.000

Total modal Awal Pengeluaran Sebulan

·         Buah-buahan segar dan wortel +pelengkap    = Rp.  400.000
(gula, susu, es batu)
·         Mangkuk plastic, gelas plastic, sedotan unik,    = Rp.    50.000
Dan kantong plastik
·         Listrik = Rp.  100.000
·         Transportasi ke pasar = Rp.  300.000
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Rp.  850.000

Asumsi Pemasukan Per bulan (30 hari)

Perkiraan pendapatan per hari @10 porsi dengan harga Rp. 5.000 untuk sop buah dan Rp. 4.000 untuk aneka jus = Rp 90.000 x 30 hari = Rp. 2.700.000

Laba per Bulan

Pemasukan – pengeluaran
( Rp. 2.700.00 – Rp. 850.000)   =  Rp. 1.850.000

Perkiraan Balik Modal

Modal awal : laba penjualan
(Rp. 1.515.000 : Rp. 1.850.000)  =    ≤ 1 bulan

Sumber : Buku 60 rahasia Bisnis Untung Besar Modal Kecil oleh Nurul Hidayat

Senin, 11 Januari 2010

PENGANTAR BUDIDAYA JAMUR SHIITAKE (LENTINULA EDODES) & JAMUR KUPING (AURICULARIA POLYTRICHA)

PENGANTAR BUDIDAYA
JAMUR SHIITAKE (LENTINULA EDODES) &
JAMUR KUPING (AURICULARIA POLYTRICHA)
Oleh:
I Nyoman Aryantha
Program Pelatihan P3T
CSED - DEPNAKER JABAR
Bandung, 26 Februari 1999
PPAU ILMU HAYATI-LP-ITB
Jalan Ganesha 10 Bandung 40132
Tlp/Fax : 022 2509165
email : iucls@iucls.itb.ac.id


Lentinula edodes.jpg


I. BUDIDAYA JAMUR SHIITAKE (L. EDODES)

Shiitake yang disebut juga ‘Chinese Black Mushroom’ sudah dikenal sebagai jamur
konsumsi sejak 2000 tahun yang silam di dataran Asia (Cook, 1989).

Produksi jamur

Shiitake secara industri massal pertama kali dilakukan di Jepang pada tahun 1940an.
Namun budidaya secara traditional sudah dimulai sejak 900 tahunan yang silam di Cina.
Shiitake adalah jamur yang diproduksi paling besar kedua setelah jamur Champignon
dimana Jepang adalah negara produsen terbesar di dunia (Chang dan Miles, 1989).

1.1 Karakteristik biologis

Shiitake diambil dari kata Shii (pohon Shii) dan take (jamur) yakni tempat ditemukannya
jamur ini pertama kali. Di Cina jamur ini disebut Shiang-Gu yang berarti jamur beraroma
(fragrant mushroom). Jamur ini termasuk dalam kelas Basidiomycetes yaitu jamur yang
menghasilkan spora pada basidium. Nama ilmiah yang kini dipakai di kalangan ilmuwan
taksonomi adalah Lentinula edodes. Sebelumnya jamur ini disebut juga Lentinus edodes
Cortinellus shiitake, Cortinellus edodes, Cortinellus berkeleyanus, dan Armillaria edodes
(Leatham dan Leonard, 1989).

Deskripsi jamur Shiitake adalah sebagai berikut : berbentuk payung dengan batang
sentral (3 - 5 cm) yang kadang masih tampak sisa cadar parsial (partial veil); tudung (5 -
12 cm) agak mendatar berwarna krem kecoklatan, yang kalau kering akan pecah-pecah
membentuk sisik-sisik dengan bentuk dan ukuran bervariasi; insang berwarna putih
menempel pada batang dan spora berwarna putih.

Penyebaran jamur Shiitake secara alami adalah mulai dari dataran Cina, Jepang, Taiwan,
Malaysia, Indonesia, sampai ke Papua Newgini (Chang dan Hayes, 1978). Jamur ini
tumbuh secara alami pada pohon-pohon berdaun lebar yang sudah mati (kelas Fagaceae)
seperti Oak, Shii, Beech, dan Chestnut (San Antonio, 1981). Dengan sistem kultivasi log
serbuk gergajian kayu, jamur ini dapat tumbuh juga pada kayu Albasia, Jati, Mahoni,
Pasang, Saninten, dan Kapur (Campbell, 1989).

1.2 Kebutuhan nutrien

Substrat pertumbuhan jamur ini sebagaimana halnya jamur kayu yang lain adalah bahan
yang mengandung lignin dan selulosa yang umumnya terdapat pada tumbuhan yang
berkayu. Dalam aspek pembudidayaan modern penyediaan sumber nutrien dalam substrat
tanam adalah faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan jamur. Pada dasarnya
kebutuhan nutriennya seperti halnya dengan jamur lain terdiri dari sumber karbon,
nitrogen, vitamin dan mineral. Sumber karbon yang baik bagi Shiitake adalah senyawa
pektin, hemiselulosa dan pati. Sedangkan sumber nitrogen yang baik adalah dalam
bentuk asam amino, ammonia dan urea. Kadar nitrogen dalam substrat tanamnya
berkaitan dengan kadar senyawa protein yang dihasilkan tubuh buah. Kadar nitrogen
mesti dalam konsentrasi yang tepat karena kadar yang berlebih justru dapat meghambat
pertumbuhan demikian juga sebaliknya. Meskipun demikian pada saat pembentukan
tubuh buah kadar nitrogen yang minim (kekurangan) justru dapat memacu pembuahan
(Leatham dan Leonard, 1989). Kebutuhan akan vitamin terutama halnya dengan thiamin
(B-1) biasanya terpenuhi dengan penambahan biji-bijian atau dedak. Mineral umumnya
sudah terkandung dari air dan bahan dasar substrat meskipun demikian penambahan
mineral seperti kalium dan magnesium bisa dilakukan dengan pemberian senyawa kimia
seperti KNO3 dan MgSO4.

1.3 Persyaratan fisik

Sebagaimana halnya jamur lain faktor kelembaban tinggi adalah syarat utama yang harus
terpenuhi dalam budidaya jamur Shiitake. Kadar air substrat untuk pertumbuhan
vegetatip tergantung dari jenis substrat yang dipakai. Untuk substrat kayu utuh, kadar air
optimum adalah 45-60% sedangkan dengan substrat serbuk gergajian adalah 60-75%.
Meskipun demikian faktor fisik lain seperti suhu, oksigen cahaya dan gaya tarik bumi
juga merupakan faktor-faktor penting. Pertumbuhan vegetatif opotimum adalah pada
suhu 20-22oC. Sedangkan pada saat pertumbuhan tubuh buah memerlukan suhu optimum
yang bervariasi tergantung strainnya. Untuk strain dingin dapat menghasilkan tubuh buah
dengan baik pada suhu 12-18oC dan strain tropis pada suhu 20-22oC.
Sebagaimana halnya jamur lain, proses aerasi adalah hal yang juga vital. Shiitake seperti
halnya jamur pada umumnya membutuhkan kadar oksigen lebih tinggi pada saat
pembentukan tubuh buah dibandingkan dengan tahap pertumbuhan vegetatif miselium.
Itulah sebabnya log-log plastik yang telah terjadi pertumbuhan miselium vegetatif harus
dibuka pada saat yang tepat. Tentunya hal ini akan mempengaruhi penguapan air dari
dalam log yang tidak kita inginkan. Untuk menanggulanginya dilakukan penyiraman
dengan air kran.
Faktor fisik lain adalah cahaya. Kebanyakan jamur membutuhkan cahaya pada fase
pertumbuhan generatif atau akhir fase vegetatif. Cahaya terutama berperan dalam proses
perangsangan terbentuknya tubuh buah. Cahaya yang berperan dalam pembentukan
primordia ini adalah cahaya biru sampai mendekati ultraviolet. Cahaya pada rentang
lamda (λ) ini terdapat pada cahaya matahari. Cahaya buatan dengan lampu TL dengan
kekuatan 100-300 LUX juga sudah mencukupi. Sebagai patokan kasar, intensitas cahaya
yang dianggap cukup apabila dalam ruangan kita dapat membaca koran dengan jarak satu
lengan antara koran dan mata.
Faktor fisik yang terakhir adalah gaya tarik bumi (gravity). Pertumbuhan miselium
vegetatif umumnya lebih cepat di dalam log dengan posisi vertikal. Ini menandakan
adanya pengaruh gaya gravitasi terhadap pertumbuhan miselium.

1.4 Cara budidaya

Tahap-tahap pekerjaan pada dasarnya sama dengan cara budidaya jamur Tiram yang
mencakup : penyiapan substrat, pencampuran substrat, pengantongan (logging),
sterilisasi, inokulasi bibit, inkubasi, pemeliharaan tubuh buah, dan panen. Yang berbeda
adalah perlakuan faktor-faktor fisik pada saat pemeliharaan tubuh buah, serta formulasi
substrat tanam. Oleh karena itu, sebaiknya memahami dulu cara budidaya jamur Tiram
sebelum mencoba jamur Shiitake.

1.4.1 Penyiapan substrat

Beberapa contoh formulasi substrat tanam untuk jamur Shiitake adalah sbb:

Formula A Formula B

• Serbuk gergajian kayu = 5000 g * Serbuk gergajian kayu = 800 g

• Dedak = 150 g * Dedak = 200 g

• Tepung maizena = 100 g * Sukrosa = 30 g

• Gula merah = 60 g * KNO3 = 4 g

• Gypsum = 150 g * CaCO3 = 6 g

• Amonium sulfat = 2 g * Air = 2 Liter

• Kalsium super fosfat = 3 g

• Kadar air = 65%

Formula C

• Serbuk gergajian kayu = 45%

• Dedak = 10%

• Kulit kacang = 45%

• Air = 65%

1.4.2 Pencampuran substrat

Bahan-bahan penyusun substrat harus diaduk sehomogen mungkin untuk menjamim
pertumbuhan miselium yang merata ke seluruh bagian dari substrat. Pencampuran dengan
alat (mesin) akan lebih menjamin kemerataan pencampuran dibandingkan dengan cara
manual. Namun demikian cara manual dapat dilakukan dengan waktu pencampuran yang
lebih lama tentunya. Yang penting dalam pencampuran adalah tidak ada bahan yang
menggumpal terpusat pada suatu tempat. Bahan yang berupa butiran padatan berukuran
relatif besar seperti gula atau kapur harus dihaluskan terlebih dahulu untuk memudahkan
pencampuran. Cara yang baik untuk menjamin kemerataan penyebaran bahan yang
berupa butiran padat tadi adalah dengan cara melarutkannya terlebih dahulu ke dalam air
yang akan dipakai dalam campuran. Terutama bahan yang konsentrasinya rendah eperti
sukrosa dan amonium sulfat sebaiknya dilarutkan dulu dalam air.
Untuk mengurangi derajat kontaminasi oleh mikroba liar, proses fermentasi sering
dipraktekkan setelah pencampuran ini. Proses ini juga seperti dapat membantu
menguraikan beberapa senyawa kompleks menjadi lebih sederhana sehingga dapat
dimanfaatkan oleh jamur yang kita tanam. Proses ini dilakukan selama 3-5 hari
tergantung keadaan bahan baku substrat. Selama proses fermentasi (pengomposan) ini
harus dilakukan pengadukan untuk memberikan kesempatan yang merata pada setiap
bagian dari substrat. Pengadukan biasanya dilakukan tiap hari sekali terutama saat
dicapai suhu yang tinggi di dalam gundukan pengomposan.

1.4.3 Pengantongan (logging)

Pengantongan adalah proses selanjutnya yakni memasukkan substrat yang telah dicampur
merata ke dalam kantong plastik polypropylene yang tahan panas. Kantong diisi dengan
substrat secukupnya (tidak terlalu padat dan juga tidak terlalu longgar) sesuai dengan
ukuran log yang diinginkan. Batasan kepadatan log dapat dilakukan dengan jalan
memukul-mukulkan dengan sebuah botol yang diberi pemberat pasir. Memadatkan
dengan pukulan botol berisi pasir (tanpa tenaga tambahan) akan menghaislkan kepadatan
yang sesuai. Setelah kantong diisi dengan substrat secukupnya lalu diberi ring dan kapas
sebagai tempat memasukkan bibit nantinya.

1.4.4 Sterilisasi

Log yang sudah diberi ring dan tutup kapas ini kemudian disterilkan dengan alat autoklaf
atau dipasteurisasi dengan cara mengukus. Cara pertama adalah dengan pemanasan tinggi
(121oC selama tidak kurang ari 1 jam) sedangkan cara kedua adalah pemanasan dengan
suhu tidak lebih dari 100oC dalam waktu tidak kurang dari 5 jam tergantung banyaknya
log yang dipasteurisasi. Kadang pasteurisasi dilakukan secara berulang yakni
memberikan kesempatan bagi bentuk-bentuk resisten dari mikroba untuk berkecambah
menghasilkan bentuk vegetatif dengan demikian dapat dimatikan dengan mudah pada
proses pemanasan yang berikutnya. Tentu cara ini akan menghasbiskan biaya yang lebih
besar mengingat energi bahan bakar atau listrik yang dihabiskan akan lebih banyak.
Namun demikian, hasil yang didapat akan lebih baik karena proses berulang ini akan
lebih menjamin terbunuhnya mikroba-mikroba kontaminan.

1.4.5 Inokulasi bibit

Log-log steril yang sudah dingin sekarang siap diberi (diinokulasikan) bibit secara
aseptis. Penginokulasian dapat dilakukan dengan cara membuat lobang sebelumnya lalu
mengisi penuh lobang tersebut dengan bibit atau dapat pula dengan cara menyebarkan
bibit hanya pada permukaan saja. Untuk satu log substrat tanam cukup memerlukan bibit
sekitar 3-5 sendok the. Pada dasarnya, satu sendok the saja sebenarnya sudah cukup.
Namun, untuk lebih meyakinkan pertumbuhan miselium yang lebih cepat maka jumlah
bibit yang lebih dari itu akan lebih baik. Selama proses penginokulasian usahakan tidak
berbicara secara berlebihan karena uap air yang keluar dar mulut dapat saja
mengkontaminasi substrat yang hendak doberi bibit. Sesudah bibit diinokulasikan lalu
log ditutup kembali dengan kapas lalu log-log yang sudah berisi bibit diimpan di dalam
ruang inkubasi.

1.4.6 Inkubasi

Inkubasi maksudanya adalah proses pemeliharaan (penumbuhan) miselium dalam kondisi
pertumbuhan yang terbaik bagi jamur. Inkubasi biasanya dilakukan pada ruang yang
khusus dimana suhu ruang dapat dijaga konstan. Pada fase inkubasi miselium ini tidak
disarankan untuk melakukan pengaturan kelembaban dalam ruang inkubasi. Kelembaban
sudah terjamin dari kadar air substrat yang diberikan dalam proses pencampuran substrat
sebelumnya. Kelembaban ruang inkubasi tidak banyak membantu kelembaban di dalam
kantong plastik. Salah-salah, kelembaban ruang inkubai dapat menyebabkan spora liar
yang menempel pada kapas penutup dapat berkecambah kemudian miselium jamur liar
ini dapat merambah masuk ke dalam kantong. Oleh karena itu disarankan untuk tidak
membiarkan ruang inkubasi terlalu lembab.

1.4.7 Pemeliharaan tubuh buah

Selanjutnya setelah log ditumbuhi penuh dengan miselium maka log dapat dipindahkan
ke dalam ruang pemeliharaan tubuh buah. Perkembangan log akan melewati tahap-tahap
sebagai berikut :

�� Pembentukan lapisan miselium permukaan yang tebal

�� Pembentukan benjolan

�� Pembentukan warna coklat (pigmentasi)

�� Pengerasan lapisan luar

�� Pembentukan primordia

Log dipelihara sampai terbentuk lapisan miselium yang mengeras pada permukaan log.
Setelah itu akan muncul benjolan-benjolan dengan ukuran yang bervariasi yang tampak
menyembul ke permukaan log. Pada saat ini tutup kapas mulai diperlonggar untuk
membantu sirkulasi udara yang membantu pigmentasi. Kemudian akan diikuti dengan
pembentukan warna kecoklatan yakni suatu tanda pigmentasi. Setelah terbentuk pigmen
tutup kapas dibuka sepenuhnya. Lapisan miselium yang kecoklatan ini kemudian
mengeras seperti kulit batang dalam waktu sekitar 30 hari. Respon ini biasanya berkaitan
dengan upaya dari jamur untuk mengurangi penguapan air dari log. Kadar air di dalam
log akan tetap tinggi tetapi di luar relatif kering. Kulit inilah yang berperan sebagai
pelindung miselium di dalam log dari proses penguapan dan serangan jamur liar.
Pada saat ini, proses pembuahan sudah mulai dipersiapkan dengan memberikan
rangsangan fisik berupa suhu dingin dan kadar air yang berlimpah. Dapat dilakukan
dengan cara merendam log jamur dalam air selama beberapa jam sampai semalaman
dengan suhu sekitar 15°C. Setelah proses perangsangan selesai, log disimpan kembali
pada rak pemeliharaan. Pemeliharaan selanjutnya sangat ditentukan dari pengaturan
kadar oksigen dan kelembaban udara.
Pengaturan kadar oksigen dapat dilakukan dengan membuka jendela ventilasi pada saat
kelembaban udara di luar tinggi. Pengaturan kelembaban dapat dilakukan dengan cara
penyiraman dengan air secara berkala terutama kalau kelembaban udara di luar rendah
(biasanya siang hari). Kadar CO2 yang dibolehkan dalam ruang pemeliharaan adalah
berkisar dari 1200-1500 ppm (Wuest, 1989).
Kadar air log selama proses pembentukan tubuh buah harus dipertahankan antara 55-
65%. Di atas dan di bawah rentang ini akan mengganggu proses pembentukan primordia
(Donoghue & Przybylowicz, 1989). Untuk menjaga kadar air ini dapat dilakukan dengan
menjaga kelembaban udara di ruang pemeliharaan antara 80-90%. Setelah tubuh buah
mencapai ukuran dewasa, kelembaban udara diatur berkisar antara 65-85%. Hal ini
dilakukan untuk memperoleh tubuh buah dengan aroma dan tekstur yang lebih baik.
Kalau dalam periode ini kelembaban udara terlalu tinggi akan menghasilkan tubuh buah
dengan tekstur yang lembek relatif tidak dapat disimpan lama juga aroma yang kurang
baik. Dengan penurunan kelembaban akan menghasilkan tubuh buah yang pecah-pecah
dengan tekstur yang lebih keras dan dapat disimpan dalam waktu relatif lebih lama dan
aroma yang lebih baik. Tekstur seperti ini biasanya lebih disukai oleh konsumen terutama
konsumen luar negeri.

1.4.8 Pemanenan

Proses pembentukan tubuh buah bisa terjadi dalam waktu 5-6 bulan setelah inokulasi.
Proses ini dapat terjadi sebanyak 2-3 kali dengan periode istirahat berkisar sekitar 6
bulan.
Pemanenan dilakukan setelah tudung membuka sekitar 60-70%. Pada fase ini kondisi
tudung sudah menampakkan lemella pada bagian bawah tetapi pinggiran masih sedikit
menggulung. Kalau lewat dari itu jamur biasanya sudah terlalu tua dan sudah dihasilkan
spora dan kualitas jamur biasanya tidak baik (tekstur, waktu simpan dan aroma).
Sedangkan kalau dipanen sebelum itu tidak akan menghasilkan hasil panen yang
maksimum (produktivitas rendah) disamping kualitasnya juga tidak baik.
Disamping cara budidaya dengan sistim log serbuk gergajian, juga dikenal cara budidaya
dengan sistim log kayu utuh. Cara ini merupakan cara tradisional yang banyak dilakukan
di Jepang. Cara ini memiliki kelebihan karena dihasilkan tubuh buah dengan aroma dan
tekstur yang lebih khas. Namun kelemahannya adalah dari segi waktu yang lebih lama
(sampai 1,5 tahun) dan produktivitas yang relatif lebih rendah. Disamping itu luas area
yang dibutuhkan juga lebih luas untuk menghamparkan log-log kayu yang sudah
diinokulasi di lantai hutan sebagai area penginkubasian.

1.5 Pasca panen

Hasil panen jamur Shiitake dapat dikeringkan dengan sinar matahari atau alat pengering
buatan sebelum dipasarkan dalam bentuk kering. Jamur Shiitake yang kering dapat
bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang basah. Oleh karena itulah cara
pengeringan paling banyak dilakukan. Untuk menghindari supaya jamur yang sudah
kering tidak kembali menyerap uap air dari udara, maka pengemasan lebih baik
dilakukan dengan sistim fakum. Jamur yang sudah dikeringkan teksturnya dapat kembali
seperti tekstur awal setelah direndam dalam air hangat. Shiitake mengandung senyawa
aktif obat bermanfaat bagi kesehatan sehingga sering juga dimanfaatkan sebagai bahan
pengobatan tradisional. Untuk tujuan pasar lokal, jamur dalam bentuk segar juga sering
dipasarkan di pasar-pasar swalayan yang dikemas langsung dalam kemasan plastik.

II. BUDIDAYA JAMUR KUPING (A. POLYTRICHA)

Jamur Kuping adalah jamur yang pertama kali dibudidayakan bahkan sebelum jamur
Shiitake di Cina. Di Indonesia jamur Kuping sangat lumrah dikenal di kalangan
masyarakat menengah ke bawah setelah jamur merang. Pada acara-acara pesta hajatan
masakan sop (kimlo) sangat umum menggunakan jamur Kuping di dalamnya.
Masyarakat tradisional masih sering mengambil jamur ini dari alam yang biasanya
tumbuh pada batang-batang yang sudah lapuk. Kini jamur Kuping terutama jenis A.
polytricha sudah banyak dibudidayakan secara modern dalam log-log serbuk kayu.
Menurut data statistik, produksi segar jamur kuping (worldwide) menempati urutan
keempat (346.000 ton) setelah Champignon, Tiram dan Shiitake pada tahun 1991
(Chang, 1993).

Pada dasarnya cara budidaya jamur kuping hampir sama dengan cara budidaya jamur
Tiram dan Shiitake yakni dengan tahap-tahapan sbb : penyiapan substrat, pencampuran
substrat, pengantongan (logging), sterilisasi, inokulasi bibit, inkubasi, pemeliharaan
tubuh buah, dan panen. Yang berbeda mungkin komposisi substrat dan cara pemeliharaan
tubuh buahnya yang memerlukan kondisi-kondisi fisik yang sedikit berbeda
dibandingkan dengan jamur Tiram dan Shiitake, serta waktu panenan yang lebih singkat.
Untuk menghindari kemubasiran cerita mengenai keterangan tahap-tahap pembudidayaan
maka tidak akan disajikan lagi tahap-tahap secara detail seperti pada jamur Shiitake
sebelumnya. Dalam bagian ini hanya akan dibahas hal-hal yang berbeda yang perlu
diperhatikan dalam budidaya jamur Kuping secara spesifik.

Rangkuman tahap-tahap pembudidayaan secara umum adalah sbb :

±30oC

±30 hari

Penyiapan substrat

Pencampuran

substrat

Pengantongan
(logging)

Sterilisasi

Inokulasi bibit

Inkubasi miselium

±85%

24-27oC

±15 hari

3-4 kali (selang 14 h)

±400 g/log (total)

Komposisi substrat.

Berikut adalah dua contoh komposisi substrat tanam untuk jamur

Kuping yang sudah perna dicoba dan dilaporkan oleh beberapa peneliti.

Formula A

• Serbuk gergajian kayu = 78%

• Dedak = 20%

• Kapur (CaCO3) = 1%

• Sukrosa = 1%

• Air = 70%

Formula B

• Serbuk gergajian kayu = 78%

• Dedak = 10%

• Kapur (CaCO3) = 1%

• NPK (1:1:1) = 0,5%

• Air = 70%

Selanjutnya, hal yang sedikit berbeda dengan cara budidaya jamur Shiitake adalah pada
tahap inkubasi miselium yang memerlukan suhu relatif lebih tinggi (±30oC)
dibandingkan dengan Shiitake. Demikian juga waktu yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tubuh buah dari mulai inokulasi log adalah lebih singkat yakni sekitar 50
hari. Selama pemeliharaan tidak terjadi tahap-tahap yang sperti pada Shiitake (lapisan
tebal miselium permukaan, pembentukan benjolan, pembentukan warna coklat
(browning) dan pengerasan lapisan luar). Dalam hal pemeliharaan tubuh buah hampir
mirip dengan pemeliharaan jamur Tiram. Sepanjang kelembaban udara dipertahankan
tinggi (±85%) pada temperatur yang sesuai (24-27oC), kadar Oksigen yang cukup (tidak
terasa susah bernafas di dalam ruangan) dan kadar cahaya ±500 LUX, maka jamur
Kuping akan dihasilkan dan berkembang normal dengan sendirinya. Dengan kata lain,
budidaya jamur kuping lebih mudah dibandingkan dengan berbudidaya jamur Shitake.
Apabila tubuh buah sudah dihasilkan, maka waktu panen dapat dilakukan sampai dicapai
ukuran tubuh buah yang masksimum. Berbeda halnya dengan jamur Tiram, tubuh buah
jamur Kuping dapat bertahan relatif lebih lama pada log. Demikian juga pada saat
Pemeliharaan tubuh buah

Panen

Melakukan panen, primordia yang masih kecil sebaiknya jangan ikut dipanen habis
karena masih dapat berkembang lebih besar. Hal ini tidak boleh dilakukan pada jamur

Tiram.
Jamur Kuping akan kering dalam suhu kamar dengan catatan tidak dilakukan penyiraman
pada saat panen. Meskipun demikian, pengeringan dengan sinar matahari tentunya akan
lebih cepat. Setelah panen Jamur Kuping dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan
jamur Tiram dan Shiitake.

III. PUSTAKA
Campbell, A.C. dan R.W. Slee, Extensive system of Shiitake production in S.W.
England, dalam Shiitake Mushrooms, The proceedings of national symposium and
trade show, May 3-5 1989.
Chang, S.T dan W.A. Hayes, 1978, The Biology and Cultivation of Edible Mushrooms,
Academic Press., Inc., New York, London.
Chang, S.T, 1993, Mushroom biology : the impact on mushroom production and
mushroom products. In : S.T Chang et al., (eds) Mushroom biology and mushroom
products, The Chinese Univ. of Hong Kong.
Cook, R.C., 1989, History of Shiitake and other exotic mushrooms in The United States,
dalam Shiitake Mushrooms, The proceedings of national symposium and trade
show, May 3-5 1989.
Donoghue, J.D. dan P.R. Przybylowicz, 1989, Theh fruiting cycle of Shiitake and its
application to log management, dalam Shiitake Mushrooms, The proceedings of
national symposium and trade show, May 3-5 1989.
San Antonio, J.P., 1981, Cultivation of the Shiitake mushroom (Lentinus edodes (Berk.)
Sing., Hort. Sci., 16:151-156.
Leatham, G.F dan T.J Leonard, 1989, Biology and Physiology of Shiitake mushroom
cultivation, dalam Shiitake Mushrooms, The proceedings of national symposium
and trade show, May 3-5 1989.
Wuest, P.J., 1989, Shiitake growing in sawdust, dalam Shiitake Mushrooms, The
proceedings of national symposium and trade show, May 3-5 1989.

Jumat, 18 Desember 2009

BUDIDAYA LELE SANGKURIANG (Clarias sp.)

BUDIDAYA LELE SANGKURIANG
(Clarias sp.)

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air Tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa. Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan 1) dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, 2) teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, 3) pemasarannya relatif mudah dan 4) modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah.

Pengembangan usaha budidaya ikan lele semakin meningkat setelah masuknya jenis ikan lele dumbo ke Indonesia pada tahun 1985. Keunggulan lele dumbo dibanding lele lokal antara lain tumbuh lebih cepat, jumlah telur lebih banyak dan lebih tahan terhadap penyakit.

Namun demikian perkembangan budidaya yang pesat tanpa didukung pengelolaan induk yang baik menyebabkan lele dumbo mengalami penurunan kualitas. Hal ini karena adanya perkawinan sekerabat (inbreeding), seleksi induk yang salah atas penggunaan induk yang berkualitas rendah. Penurunan kualitas ini dapat diamati dari karakter umum pertama matang gonad, derajat penetasan telur, pertumbuhan harian, daya tahan terhadap penyakit dan nilai FCR (Feeding Conversion Rate).

Sebagai upaya perbaikan mutu ikan lele dumbo BBAT Sukabumi telah berhasil melakukan rekayasa genetik untuk menghasilkan lele dumbo strain baru yang diberi nama lele Sangkuriang.

Seperti halnya sifat biologi lele dumbo terdahulu, lele Sangkuriang tergolong omnivora. Di alam ataupun lingkungan budidaya, ia dapat memanfaatkan plankton, cacing, insekta, udang-udang kecil dan mollusca sebagai makanannya. Untuk usaha budidaya, penggunaan pakan komersil (pellet) sangat dianjurkan karena berpengaruh besar terhadap peningkatan efisiensi dan produktivitas.

Tujuan pembuatan Petunjuk Teknis ini adalah untuk memberikan cara dan teknik pemeliharaan ikan lele dumbo strain Sangkuriang yang dilakukan dalam rangka peningkatan produksi Perikanan untuk meningkatkan ketersediaan protein hewani dan tingkat konsumsi ikan bagi masyarakat Indonesia.

Berdasarkan keunggulan lele dumbo hasil perbaikan mutu dan sediaan induk yang ada di BBAT Sukabumi, maka lele dumbo tersebut layak untuk dijadikan induk dasar yaitu induk yang dilepas oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dan telah dilakukan diseminasi kepada instansi/pembudidaya yang memerlukan. Induk lele dumbo hasil perbaikan ini, diberi nama Lele Sangkuriang. Induk lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan generasi keenam (F6). Induk betina F2 merupakan koleksi yang ada di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi yang berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi ke Indonesia tahun 1985. Sedangkan induk jantan F6 merupakan sediaan induk yang ada di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. Induk dasar yang didiseminasikan dihasilkan dari silang balik tahap kedua antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan hasil silang balik tahap pertama (F2 6).

Budidaya lele Sangkuriang dapat dilakukan di areal dengan ketinggian 1 m - 800 m dpi. Persyaratan lokasi, baik kualitas tanah maupun air tidak terlalu spesifik, artinya dengan penggunaan teknologi yang memadai terutama pengaturan suhu air budidaya masih tetap dapat dilakukan pada lahan yang memiliki ketinggian diatas >800 m dpi. Namun bila budidaya dikembangkan dalam skala massal harus tetap memperhatikan tata ruang dan lingkungan sosial sekitarnya artinya kawasan budidaya yang dikembangkan sejalan dengan kebijakan yang dilakukan Pemda setempat.

Budidaya lele, baik kegiatan pembenihan maupun pembesaran dapat dilakukan di kolam tanah, bak tembok atau bak plastik. Budidaya di bak tembok dan bak plastik dapat memanfaatkan lahan pekarangan ataupun lahan marjinal lainnya.

Sumber air dapat menggunakan aliran irigasi, air sumu (air permukaan atau sumur dalam), ataupun air hujan yan sudah dikondisikan terlebih dulu. Parameter kualitas air yan baik untuk pemeliharaan ikan lele sangkuriang adalah sebagai berikut:

Suhu air yang ideal untuk pertumbuhan ikan lele berkisar antara 22-32°C. Suhu air akan mempengaruhi laju pertumbuhan, laju metabolisme ikan dan napsu makan ikan serta kelarutan oksigen dalam air.
pH air yang ideal berkisar antara 6-9.
Oksigen terlarut di dalam air harus > 1 mg/l.
Budidaya ikan lele Sangkuriang dapat dilakukan dalam bak plastik, bak tembok atau kolam tanah. Dalam budidaya ikan lele di kolam yang perlu diperhatikan adalah pembuatan kolam, pembuatan pintu pemasukan dan pengeluaran air.

Bentuk kolam yang ideal untuk pemeliharaan ikan lele adalah empat persegi panjang dengan ukuran 100-500 m2. Kedalaman kolam berkisar antara 1,0-1,5 m dengan kemiringan kolam dari pemasukan air ke pembuangan 0,5%. Pada bagian tengah dasar kolam dibuat parit (kamalir) yang memanjang dari pemasukan air ke pengeluaran air (monik). Parit dibuat selebar 30-50 cm dengan kedalaman 10-15 cm.

Sebaiknya pintu pemasukan dan pengeluaran air berukuran antara 15-20 cm. Pintu pengeluaran dapat berupa monik atau siphon. Monik terbuat dari semen atau tembok yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian kotak dan pipa pengeluaran. Pada bagian kotak dipasang papan penyekat terdiri dari dua lapis yang diantaranya diisi dengan tanah dan satu lapis saringan. Tinggi papan disesuaikan dengan tinggi air yang dikehendaki. Sedangkan pengeluaran air yang berupa siphon lebih sederhana, yaitu hanya terdiri dari pipa paralon yang terpasang didasar kolam dibawah pematang dengan bantuan pipa berbentuk L mencuat ke atas sesuai dengan ketinggian air kolam.

Saringan dapat dipasang pada pintu pemasukan dan pengeluaran agar ikan-ikan jangan ada yang lolos keluar/masuk.

Pelaksanaan Budidaya
Sebelum benih ikan lele ditebarkan di kolam pembesaran, yang perlu diperhatikan adalah tentang kesiapan kolam meliputi:

a. Persiapan kolam tanah (tradisional)



Pengolahan dasar kolam yang terdiri dari pencangkulan atau pembajakan tanah dasar kolam dan meratakannya. Dinding kolam diperkeras dengan memukul-mukulnya dengan menggunakan balok kayu agar keras dan padat supaya tidak terjadi kebocoran. Pemopokan pematang untuk kolam tanah (menutupi bagian-bagian kolam yang bocor).



Untuk tempat berlindung ikan (benih ikan lele) sekaligus mempermudah pemanenan maka dibuat parit/kamalir dan kubangan (bak untuk pemanenan).




Memberikan kapur ke dalam kolam yang bertujuan untuk memberantas hama, penyakit dan memperbaiki kualitas tanah. Dosis yang dianjurkan adalah 20-200 gram/m2, tergantung pada keasaman kolam. Untuk kolam dengan pH rendah dapat diberikan kapur lebih banyak, juga sebaliknya apabila tanah sudah cukup baik, pemberian kapur dapat dilakukan sekedar untuk memberantas hama penyakit yang kemungkinan terdapat di kolam.

Pemupukan dengan kotoran ternak ayam, berkisar antara 500-700 gram/m2; urea 15 gram/m2; SP3 10 gram/m2; NH4N03 15 gram/m2.
Pada pintu pemasukan dan pengeluaran air dipasang penyaring
Kemudian dilakukan pengisian air kolam.
Kolam dibiarkan selama ± 7 (tujuh) hari, guna memberi kesempatan tumbuhnya makanan alami.
b. Persiapan kolam tembok
Persiapan kolam tembok hampir sama dengan kolam tanah. Bedanya, pada kolam tembok tidak dilakukan pengolahan dasar kolam, perbaikan parit dan bak untuk panen, karena parit dan bak untuk panen biasanya sudah dibuat Permanen.
c. Penebaran Benih
Sebelum benih ditebarkan sebaiknya benih disuci hamakan dulu dengan merendamnya didalam larutan KM5N04 (Kalium permanganat) atau PK dengan dosis 35 gram/m2 selama 24 jam atau formalin dengan dosis 25 mg/l selama 5-10 menit.
Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari atau pada saat udara tidak panas. Sebelum ditebarkan ke kolam, benih diaklimatisasi dulu (perlakuan penyesuaian suhu) dengan cara memasukan air kolam sedikit demi sedikit ke dalam wadah pengangkut benih. Benih yang sudah teraklimatisasi akan dengan sendirinya keluar dari kantong (wadah) angkut benih menuju lingkungan yang baru yaitu kolam. Hal ini berarti bahwa perlakuan tersebut dilaksanakan diatas permukaan air kolam dimana wadah (kantong) benih mengapung diatas air. Jumlah benih yang ditebar 35-50 ekor/m2 yang berukuran 5-8 cm.
d. Pemberian Pakan
Selain makanan alami, untuk mempercepat pertumbuhan ikan lele perlu pemberian makanan tambahan berupa pellet. Jumlah makanan yang diberikan sebanyak 2-5% perhari dari berat total ikan yang ditebarkan di kolam. Pemberian pakan frekuensinya 3-4 kali setiap hari. Sedangkan komposisi makanan buatan dapat dibuat dari campuran dedak halus dengan ikan rucah dengan perbandingan 1:9 atau campuran dedak halus, bekatul, jagung, cincangan bekicot dengan perbandingan 2:1:1:1 campuran tersebut dapat dibuat bentuk pellet.
e. Pemanenan
Ikan lele Sangkuriang akan mencapai ukuran konsumsi setelah dibesarkan selama 130 hari, dengan bobot antara 200 - 250 gram per ekor dengan panjang 15 - 20 cm. Pemanenan dilakukan dengan cara menyurutkan air kolam. Ikan lele akan berkumpul di kamalir dan kubangan, sehingga mudah ditangkap dengan menggunakan waring atau lambit. Cara lain penangkapan yaitu dengan menggunakan pipa ruas bambu atau pipa paralon/bambu diletakkan didasar kolam, pada waktu air kolam disurutkan, ikan lele akan masuk kedalam ruas bambu/paralon, maka dengan mudah ikan dapat ditangkap atau diangkat. Ikan lele hasil tangkapan dikumpulkan pada wadah berupa ayakan/happa yang dipasang di kolam yang airnya terus mengalir untuk diistirahatkan sebelum ikan-ikan tersebut diangkut untuk dipasarkan.

Pengangkutan ikan lele dapat dilakukan dengan menggunakan karamba, pikulan ikan atau jerigen plastik yang diperluas lubang permukaannya dan dengan jumlah air yang sedikit.


Proses Produksi pada kegiatan pembesaran disajikan Tabel 1.

Tabel 1
Proses pembesaran lele Sangkuriang di bak tembok.

Kriteria Satuan Pembesaran
Ukuran Tanaman
- Umur hari 40
- panjang cm 4 - 8
- bobot gram 4- 6
Ukuran Panen
- Umur hari 130
- panjang cm 15 - 20
- bobot gram 125 - 200
Sintasan % 80-90
Padat Tebar Ekor/m2 50-75
Pakan
- Tingkat Pemberian % bobot 3
- Frekuensi Pemberian kali/hari 3
Tingkat Konversi Pakan 0,8 - 1,2

Kegiatan budidaya lele Sangkuriang di tingkat pembudidaya sering dihadapkan pada permasalahan timbulnya penyakit atau kematian ikan. Pada kegiatan pembesaran, penyakit banyak ditimbulkan akibat buruknya penanganan kondisi lingkungan. Organisme predator yang biasanya menyerang antara lain ular dan belut. Sedangkan organisme pathogen yang sering menyerang adalah Ichthiophthirius sp., Trichodina sp., Monogenea sp. dan Dactylogyrus sp.

Penanggulangan hama insekta dapat dilakukan dengan pemberian insektisida yang direkomendasikan pada saat pengisian air sebelum benih ditanam. Sedangkan penanggulangan belut dapat dilakukan dengan pembersihan pematang kolam dan pemasangan plastik di sekeliling kolam.

Penanggulangan organisme pathogen dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan budidaya yang baik dan pemberian pakan yang teratur dan mencukupi. Pengobatan dapat menggunakan obat-obatan yang direkomendasikan.

Pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan melakukan persiapan kolam dengan baik. Pada kegiatan budidaya dengan menggunakan kolam tanah, persiapan kolam meliputi pengeringan, pembalikan tanah, perapihan pematang, pengapuran, pemupukan, pengairan dan pengkondisian tumbuhnya plankton sebagai sumber pakan. Pada kegiatan budidaya dengan menggunakan bak tembok atau bak plastik, persiapan kolam meliputi pengeringan, disenfeksi (bila diperlukan), pengairan dan pengkondisian tumbuhnya plankton sebagai sumber pakan. Perbaikan kondisi air kolam dapat pula dilakukan dengan penambahan bahan probiotik.

Untuk menghindari terjadinya penularan penyakit, maka hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Pindahkan segera ikan yang memperlihatkan gejala sakit dan diobati secara terpisah. Ikan yang tampak telah parah sebaiknya dimusnahkan.
Jangan membuang air bekas ikan sakit ke saluran air.
Kolam yang telah terjangkit harus segera dikeringkan dan dilakukan pengapuran dengan dosis 1 kg/5 m2. Kapur (CaO) ditebarkan merata didasar kolam, kolam dibiarkan sampai tanah kolam retak-retak.
Kurangi kepadatan ikan di kolam yang terserang penyakit.
Alat tangkap dan wadah ikan harus dijaga agar tidak terkontaminasi penyakit. Sebelum dipakai lagi sebaiknya dicelup dulu dalam larutan Kalium Permanganat (PK) 20 ppm (1 gram dalam 50 liter air) atau larutan kaporit 0,5 ppm (0,5 gram dalam 1 m3 air).
Setelah memegang ikan sakit cucilah tangan kita dengan larutan PK
Bersihkan selalu dasar kolam dari lumpur dan sisa bahan organik
Usahakan agar kolam selalu mendapatkan air segar atau air baru.

Tingkatkan gizi makanan ikan dengan menambah vitamin untuk menambah daya tahan ikan.
ANALISA USAHA
Pembesaran lele Sangkuriang di bak plastik

1. Investasi
a. Sewa lahan 1 tahun @ Rp 1.000.000,- = Rp 1.000.000,-
b. Bak kayu lapis plastik 3 unit @ Rp 500.000,- = Rp 1.500.000,-
c. Drum plastik 5 buah @ Rp 150.000,- = Rp 750.000,-
Rp 3.250.000,-
2. Biaya Tetap
a. Penyusutan lahan Rp 1.000.000,-/1 thn = Rp 1.000.000,-
b. Penyusutan bak kayu lapis plastik Rp 1.500.000,-/2 thn = Rp 750.000,-
c. Penyusutan drum plastik Rp 750.000,-/5 thn = Rp 150.000,-
Rp 1.900.000,-
3. Biaya Variabel
a. Pakan 4800 kg @ Rp 3700 = Rp 17.760.000,-
b. Benih ukuran 5-8 cm sebanyak 25.263 ekor @ Rp 80,- = Rp 2.021.052,63
c. Obat-obatan 6 unit @ Rp 50.000,- = Rp 300.000,-
d. Alat perikanan 2 paket @ Rp 100.000,- = Rp 200.000,-
e. Tenaga kerja tetap 12 OB @ Rp 250.000,- = Rp 3.000.000,-
f. Lain-lain 12 bin @ Rp 100.000,- = Rp 1.200.000,-
Rp 24.281.052,63
4. Total Biaya
Biaya Tetap + Biaya Variabel
= Rp 1.900.000,- + Rp 24.281.052,63
= Rp 26.181.052,63
5. Produksi lele konsumsi 4800 kg x Rp 6000/kg -Rp 28.800.000,
6. Pendapatan
Produksi - (Biaya tetap + Biaya Variabel)
= Rp 28.800.000,- - ( Rp 1.900.000,- + Rp 24.281.052,63)
= Rp 2.418.947,37
7. Break Event Point (BEP)
Volume produksi = 4.396,84 kg
Harga produksi = Rp 5.496,05

Sumber :Buku Budidaya Lele Sangkuriang, Dit. Pembudidayaan, Ditjen Perikanan Budidaya